Thursday, January 17, 2008

FENOMENA BIANG

Biang (Bahasa Indonesia : Anjing) adalah binatang berkaki empat yang suka menggonggong. Bagi orang Karo non Muslim daging biang yang biasa dimakan disebut B1. Sedang untuk daging Babi disebut B2. Mungkin pengertian B1 dan B2 yang muncul pada makanan khas suku Karo ini diambil dari jumlah B pada kosa kata dalam namanya.

Tidak semua merga suku diperbolehkan makan daging biang. Merga Sembiring contohnya. Tapi tidak juga semua sub merga Sembiring tidak boleh makan biang. Merga Sembiring golongan Singombak (menghanyutkan perabuan) menjadi golongan la tengka man biang (pantang makan daging anjing). Merga Sembiring yang digolongkan Singombak ini adalah Brahmana, Pandia, Colia, Guru Kinayan, Keling, Depari, Pelawi, Bunuh Aji, Busuk, Muham, Meliala, Pande Bayang, Maha, Tekang dan Kapur. Sementara golongan Sembiring yang tengka man biang (boleh makan daging anjing) adalah Kembaren, Keloko, Sipayung, Sinulaki.

Golongan Sembiring Singombak tidak diperbolehkan makan daging biang tentu ada sebabnya. Konon hal ini terjadi karena salah seorang nenek moyang merga Sembiring pernah dikejar musuhnya kemudian menyelamatkan diri dengan menceburkan diri ke sebuah sungai dan hampir tenggelam. Seekor anjing kemudian menyelamatkan orang itu dan membawanya ke seberang. Mulai dari situ Merga Sembiring Singombak berjanji untuk pantang makan daging anjing dan sungai tersebut dinamakan Lau Biang.

Lau Biang mempunyai cerita tersendiri. Siapa yang tidak tahu fenomena Gertak (baca : jembatan) Lau Biang. Gertak Lau Biang adalah jembatan yang menghubungkan kuta Batukarang, Nageri, dan Singgamanik ini adalah saksi bisu segala penindasan dan dokumen sejarah. Gertak Lau Biang menjadi tujuan dari beberapa daerah di Sumatera Utara untuk pengeksekusian orang-orang yang dianggap antek-antek Belanda dan PKI. Mereka dibunuh dengan cara biadab. Ada yang dipancung, ditikam bahkan langsung dibuang begitu saja dari jembatan itu ke sungai Lau Biang yang deras. Biasanya malam pengeksekusian dini hari. Gertak Lau Biang telah menjadi fenomena tersendiri bagi masyarakat Karo. Banyak cerita yang mewarnai fenomena tersebut. Fenomena itu menjadi misteri yang sulit untuk terungkap. Tentang Gertak Lau Biang bisa disimak di kolom Joey Bangun di website www.tanahkaro.com. Tulisan ini pernah dimuat di beberapa media daerah dan Nasional.

Biang kuta, itulah sebutan bagi anjing kampung. Di pedesaan Karo, biang kuta biasanya dipelihara dan dibiarkan berkeliaran begitu saja. Anjing-anjing itu biasanya tugasnya menjaga kesain (halaman) kuta. Jadi tiap kesain ada anjing penjaganya. Di setiap rumah orang Karo di Medan dan sekitarnya, anjing-anjing kampung ini biasanya dijadikan anjing peliharaan untuk menjaga rumah.

Tentang biang peliharaan di rumah juga punya cerita unik. Banyak nande-nande pemilik anjing di Jambur dan Losd selesai pesta adat pergi ke dapur. Biasanya mereka minta dikantongkan dalam plastik makanan sisa-sisa pesta. Jika ditanya, jawaban mereka pasti sama, “Man perpangan biangku.”

Belakangan biang tidak hanya dijadikan hewan peliharaan ataupun makanan. Namun juga kata-kata sumpah serapah pada hal-hal tidak berkenan. Biasanya diucapkan spontan sebagai bentuk emosional pada lawan bicara. Betapa malangnya nasib biang, sudah dijadikan makanan malah diucapkan sebagai sumpah serapah.

Sebuah filosofi Karo menutup tulisan ini. Bagi sinangtangi biang kicat, sinangtangisa karatna (seperti melepas anjing terjepit, yang melepaskannya malah digigitnya) artinya seseorang yang sudah ditolong malah menjatuhkan orang yang menolongnya. Hati-hati, fenomana filosofi ini banyak terjadi di masyarakat Karo.